Dikisahkan,
seorang nenek tua renta tinggal di sebuah rumah bersama seorang anak
perempuan, menantu, dan seorang cucu laki-laki. Mereka tinggal di tempat
terpencil di pinggir hutan, hidup dalam penderitaan dan kemiskinan.
Sejak suaminya meninggal, seorang diri si nenek harus bekerja keras
menghidupi anak perempuannya yang masih kecil. Hari demi hari, kehidupan
nenek dan anak sematang wayangnya tidak berangsur-angsur membaik.
Bahkan ketika anak perempuannya di peristri oleh seorang tukang kayu.
Mereka tetap hidup dalam kemiskinan.
Karena
pekerjaan sangat berat harus di jalani sejak muda, rontoklah daya tahan
tubuh si nenek. Di usia tua, kondisi fisiknya menjadi sangat lemah,
otaknya nyaris pikun, dan ia sering sakit-sakitan. Melihat keadaan si
nenek yang hidup segan mati tak mau, si anak dan menantu jadi gundah
hatinya. Mereka seperti anak kecil. Dan entah sampai kapan pekerjaan
membosankan itu harus mereka lakukan. Lalu timbul niatan jahat di benak
keduanya, yaitu menyingkirkan si nenek supaya mereka segera lepas dari
beban.
Suatu
pagi, anak dan menantu dengan ramah mengajak si nenek berjalan-jalan ke
tengah hutan. Alasannya, udara segar di hutan perlu untuk kesehatan si
nenek. Melihat keramahan anak dan menantunya, si nenek yang setengah
pikun menurut saja. Lalu si anak perempuan menggandeng ibunya menuju
hutan, sementara si menantu berjalan di belakang sambil memanggul sebuah
kurungan bambu.
Rupanya, kejadian yang tidak biasa itu mengundang kecurigaan si cucu.
Dengan perasaan penuh tanda tanya, diam-diam si cucu mengikuti ketiganya
dari kejauhan.
Sesampainya
di tengah hutan, si nenek langsung di masukkan ke dalam kurungan bambu.
Setelah yakin semua sudah di siapkan sesuai rencana, anak dan menantu
meninggalkan si nenek begitu saja di hutan. Dari tempat
persembunyiannya, si cucu terus mengawasi kejadian itu. Begitu ayah dan
ibunya pergi, dengan air
mata berlinang si cucu segera membebaskan neneknya. Ia membawa si nenek
ke tempat yang lebih aman dan kemudian bergegas pulang sambil menyeret
kurungan bambu.
Sore
harinya, sesampai di rumah ia perlihatkan kepada kedua orangtuanya
kurungan bambu yang sudah kosong dan tergores disana-sini. Si anak
berkata kepada orangtuanya, “Ayah, ibu... saya temukan kurungan bambu
ini di tengah hutan...” Demi mengetahui kurungan itu telah kosong,
mereka saling memandang dan menarik napas lega. Dalam bayangan mereka, si nenek sudah tewas di mangsa oleh binatang buas.
Kemudian,
sambil berpura-pura tidak tahu kejadian sebenarnya si ayah bertanya,
“Lalu, untuk apa kurungan seperti itu kamu bawa pulang?”
Si anak menatap tajam ayahnya. “Ayah... Saya akan simpan kurungan ini.
Suatu hari nanti apabila ayah atau ibu telah tua renta dan
sakit-sakitan seperti nenek, saya akan masukkan ayah dan ibu ke dalam
kurungan ini, dan saya tinggal di hutan supaya di mangsa binatang buas.
Sama seperti yang ayah dan ibu lakukan terhadap nenek tadi...”
Mendengar ucapan anaknya tadi, suami istri itu terkejut bukan main.
Mereka merasa malu karena justru anaknyalah yang mengajarkan kepada
mereka tentang bagaimana menghargai kasih orangtua dan tanggung jawab
sebagai anak. Mereka mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, serta
memohon supaya anaknya tidak melakukan kejahatan serupa. Mereka juga
berjanji akan memperlakukan si nenek dengan sebaik-baiknya. Sejak
peristiwa itu, kehidupan keluarga itu berubah drastis. Si nenek mendapat
perlakuan baik, anak dan menantunya juga hormat kepadanya, sementara si
cucu tumbuh menjadi anak yang pandai dan berbudi baik.
Pembaca yang budiman.
Sebuah kata mutiara menyatakan; hidup adalah sebuah tanggung jawab.
Dengan kata lain, di dalam hidup kita ini ada tanggung jawab kepada
Tuhan, orangtua, keluarga, diri kita sendiri, terhadap sesama, negara,
dan alam sekitar. Jika kita hidup hanya untuk memikirkan kepentingan
dan keuntungan diri sendiri, sementara kita mengabaikan tanggung jawab,
apalagi membuat pihak lain menderita, maka bisa di pastikan hidup kita
akan kesepian dan menderita.
Kita semua memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, dan keduanya harus berlangsung seimbang. Dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan misalnya, tak mungkin hanya menuntut hak tetapi
melupakan kewajiban. Sebaliknya, tak mungkin pula hanya memenuhi
kewajiban tanpa melupakan hak. Ketidakseimbangan antara keduanya selalu
mendatangkan konflik, penderitaan, kerugian, dan kesengsaraan. Prinsip
ini berlaku juga dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek
hubungan keluarga, dalam lapangan pekerjaan, hubungan sosial, organisasi
kemasyarakatan, kenegaraan, dll.
Dalam
contoh dongeng di atas di gambarkan, betapa seorang anak hanya mau
mendapatkan haknya saja, yaitu hak untuk mendapat penghidupan,
perlindungan, dan perawatan sewaktu belum dewasa. Tetapi setelah dewasa,
si anak lupa dengan kewajibannya membalas budi kepada orangtua yang telah bersusah payah membesarkannya.
Sesungguhnya,
sejelek apapun rupa maupun sifat orangtua kita, mereka tetap layak dan
harus dihormati. Seburuk apapun kondisi mereka, kita harus melayaninya
dengan tulus.
Mungkin
zaman telah berubah dan semakin banyak orangtua yang merasa tidak
membutuhkan uluran tangan anak-anaknya. Mereka tidak mau menggantungkan
diri kepada anak, tidak mau membenani si anak, atau merasa mampu hidup
layak atas tabungan dan jerih payah sendiri.
Tetapi, nilai moral
bahwa seorang anak wajib memuliakan orangtuanya pada saat mereka tua,
tetap tidak boleh dihilangkan. Ajaran budi pekerti ini pantas untuk
dipegang teguh dan ditularkan kepada anak cucu kita.
Mengapa
demikian Sebab, pada saatnya nanti kita menjadi orangtua dan beranjak
memasuki kehidupan usia lanjut, kita akan mendapatkan penghargaan yang
sama dari anak cucu kita. Hal ini akan terwujud jika kita dulu mau
memuliakan orangtua kita, mau mengajarkan budi pekerti yang luhur, dan
memberi keteladanan dengan cara menjalankan apa yang kita ajarkan kepada
anak-anak kita.
Sumber artikel : Andrie Wongso
Add caption |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar